Al- Farabi

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat imen dan nikmat islam yang telah menciptakan langit dan bumi dengan penuh keindahan seperti yang kita rasakan sekarang ini yang semua ini tidaklah bermakna kecuali bagi orang yang berilmu dan beramal. Dan atas izin-Nya juga saya dapat menyelesaikan mekalah ini yang berjudul “AL-FARABI”.
Selawat dan salam kita persembahkan kepada pahlawan revolusi umat islam yaitu nabi besar Muhammad SAW serta keluarga beliau sekalian karena dengan perjuangan beliaulah kiata dapat merasakan nikmatnya kehidupoan yang penuh dengan kedamaian dan ilmu pengetahuan.
Dalam menyusun makalah ini saya banyak mengalami hambatan dan kesulitan, namun makalah ini dapat terselesaikan untuk itu perkenankan saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih banyakkekurangan, maka dengan penuh keikhlasan saya menerima kritikan dan saran yang sekiranya dapat saya jadikan sebagi masukan untuk perbaikan makalah saya selanjutnya.
Akhirnya kepada Allah SWT saya memohon ampunan dan kepada pembaca saya mohon maaf atas segala kekurangan. Walaupun demikian harapan saya semoga makalah ini bermanfaat bagi semua, khusunya saya sendiri.





BAB I

PENDAHULUAN

Al-Farabi adalah filosof yang menggabungkan pemikiran filosofi dari tokoh-tokoh filosof Yunani yaitu Plato dan Aristoteles. Pemikiran filosofinya banyak terpengaruhi dengan kedua filosof tersebut. Seperti pemikirannya tentang ketuhanan dengan teori al-Maujud al-Awwal (wujud pertama) yang merupakan pengaruh filsafat Aristoteles. Kemudian pemikirannya tentang emanasi  atau disebut juga sebagai teori urut-urutan wujud. Teori emanasi ini merupakan pengaruh dari Platinus.
Al-Farabi juga mengeluarkan pemikiran filosofinya mengenai kenabian. Pemikirannya tentang kenabian, yaitu ciri khas seorang Nabi, yaitu mempunyai daya imajinasi yang kuat dan ketika  berhubungan dengan Akal Fa’al  (Malaikat Jibril) ia dapat menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk wahyu.
Kemudian banyak lagi pemikiran filosofinya antara lain tentang negeri utama, jiwa, dan akal yang akan dibahas lebih lanjut di dalam makalah ini.

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Sejarah Lahir dan Karyanya

Al-Farabi, nama lengkapnya adalah Abu Nash Muhammad ibnu Muhammad Tarkhan ibnu Auzalagh, yang biasa saja menjadi Al-Farabi. Ia dilahirkan di Wasij, Distrik Farab, Turkistan pada tahun 257 H /870 M. ayahnya seorang jenderal berkebangsaan Persia dan ibunya kebangsaan Turki. Oleh sebab  itu, terkadang ia dikatakan keturuna Persia dan terkadang ia disebut keturunan Turki. Akan tetapi, sesuai ajaran islam, yang mendasarkan keturunan pada pihak ayah, lebih tepat ia disebut keturunan Persia.
Menurut literatur, Al-Farabi dalam usia 40 tahun pergi ke Baghdad, sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia di kala itu. Ia belajar kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu Bakar Al-saraj dan belajar logika serta filsafat kepada seorang Kristen, Abu Bisyr Mattius ibnu Yunus. Kemudian, ia pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil dan berguru kepada Yuhanna ibnu Jailan. Akan tetapi, tidak berapa lama ia kembali ke  Baghdad untuk memperdalam ilmu filsafat. Selama di Baghdad ia banyak menggunakan waktunya untuk berdiskusi, mengajar, mengarang, dan mengulas buku-buku filsafat. Di antara muridnya yang terkenal adalah Yahya ibnu Adi, filosof Kristen.
Pada tahun 330 H/945 M, ia pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif Al-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Sultan tampaknya amat terkesan dengan kealiman dan keintelektualan Al-Farabi, lalu diajaknya pindah ke Aleppo, dan diberinya kedudukan yang baik. Akhirnya pada bulan Desember 950 M filosof Muslim besar ini menghembuskan napasnya yang terakhir di Damaskus dalam usia 80 tahun.
      Sebagaimana filosof Yunani, Al-Farabi menguasai berbagai disiplin ilmu. Keadaan ini memungkinkan karena didukung oleh ketekunan  dan kerajinannya serta ketajaman otaknya. Pada pihak lain, dimasa itu  belum ada pemilahan dalam buku-buku antara sains dan filsafat. Oleh sebab itu, membaca satu buku akan bersentuhan secara langsung dengan kedua ilmu tersebut. Berdasarkan karya tulisnya, filosof Muslim keturunan Persia ini menguasai matematika, kimia, astronomi, musik, ilmu alam, logika, filsafat, bahasa, dan lainnya
Al-Farabi benar-benar memahami filsafat Aristoteles, yang dijuluki al-Mu’allim al-Awwal (Guru Pertama), sehingga tidak mengherankan bila Ibnu Sina, yang menyandang predikat al-Syaikh al-Ra’is (Kiyahi Utama), mendapatkan kunci dalam memahami filsafat Aristoteles dari  buku Al-Farabi, yang berjudul fi Aghradhi ma ba’d al-Thabi’at.
Al-Farabi dalam dunia intelektual Islam mendapat kehormatan dengan julukan al-Mu’allim al-Sany (Guru kedua). Penilaian ini dihubungkan dengan jasanya sebagai penafsir yang baik dari logika Aristoteles.[1] Oemar Amin Hoesin berargumen, seolah-olah Aristoteles dalam dunia filsafat telah usai dan tugas itu diemban Al-Farabi pelanjut dan pengembangnya, tetapi alasan logika lebih dominan.
Karya tulis Al-Farabi
Di antara karya tulis yang terpenting ialah:
a.      Al-Jam’  bain Ra’yai al-Hakimain
b.       Tahshil al-Sa’adat
c.       Maqalat fi Aghradh ma ba’d al-Thabi’at
d.      Risalat fi Isbat al-Mufaraqat
e.       ‘Uyan al-Masa’il
f.        Ara’ Ahl al-Madinat al-fadhilat
g.      Maqalat fi Ma’any al-‘Aql
h.      Ihsha’ al-‘Ulum
i.        Fushul al-Hukm
j.        Al-Siyasat al-Madaniyyat
k.      Risalat al-‘Aql dan lain-lain

B.     Filsafatnya

1.      Rekonsiliasi Al-Farabi

Al-Farabi telah berhasil merekonsiliasi beberapa ajaran filsafat sebelumnya, seperti Plato dan Aristoteles dan juga antara agama dan filsafat. Oleh karena itu, ia dikenal sebagai filosof sinkretisme yang memercayai kesatuan filsafat. 
Al-Farabi telah berusaha untuk mempertemukan antara Plato dan Aristoteles, dengan memakai metode ilmiah, yaitu memperbandingkan kata-kata keduanya dan mengumpulkan pikiran-pikirannya yang tersebar diberbagai karangannya. Akan tetapi dasar usaha Al-Farabi tersebut lemah, yaitu keyakinan akan kesatuan filsafat disamping dugaannya yang salah, yaitu bahwa buku Theologia adalah karangan Aristoteles, sedangkan pengarang sebenarnya adalah Plotinus. Karena itu bolehlah dikatakan bahwa usahanya tersebut telah gagal, sebab perbedaan pendapat antara filosof tersebut jelas sekali.
Meskipun usaha Al-Farabi tersebut tidak berhasil, namun ia telah membuka pintu pemaduan bagi filosof-filosof Islam yang datang setelahnya. Al-Farabi juga telah mempertemukan agama Islam dengan di satu pihak dengan Palto dan Aristoteles di lain pihak. Menurut pendapatnya agama islam tidak bertentangan dengan filsafat Yunani. Kalau ada perlawanan, maka hanya pada lahirnya saja, dan tidak sampai menembus batinnya. Untuk menghilangkan perlawanan, kita harus memakai takwil filosofis dan meninggalkan permusuhan kata-kata. Baik agama maupun filsafat sumbernya adalah satu yaitu Akal Aktif. Karena itu tidak mungkin ada perlawanan antara nabi dengan filosof, demikian pula antara Aristoteles dengan Nabi Islam.

2.      Ketuhanan

Al-Farabi dalam pembahasan tentang ketuhanan mengompromikan antara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme, yakni al-Maujud al-Awwal (wujud Pertama) sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Konsep ini tidak bertentangan dengan keesaan yang mutlak dalam ajaran islam.
Menurut Al-Farabi segala yang ada ini hanya dua kemungkinan dan tidak ada alternatif yang ketiga, yakni Wajib al-Wujud dan mumkin al-Wajib.
Adapun yang dimaksud dengan Wajib al-Wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak mesti ada, ada dengan sendirinya. Ia ada selamanya dam tidak didahului oleh tiada. Jika wujud ini tidak ada, maka akan timbul kemustahilan karena wujud lain untuk ada bergantung padanya. Wajib al-Wujud inilah yang disebut dengan Allah.[2]
Sedangkan mumkin al-Wujud adalah sesuatu yang sama antara berwujud dan tidaknya. Wujud ini jika diperkirakan tidak wujud maka tidak mengakibatkan kemustahilan. Mumkin al-Wujud tidak akan berubah menjadi wujud aktual  tanpa adanya wujud yang menguatkan dan yang menguatkan adanya itu bukan dirinya, tetapi adalah Wajib al-Wujud (Allah).  Mumkin al-Wujud ini juga disebut dengan wajib al-wujud li al-ghairihi (wajib adanya karena lainnya). Dan juga wajib al-wujub disebut juga wajib al-wujud li dzatihi (wajib adanya dengan sendirinya).
Tentang sifat-sifat Allah Al-Farabi sejalan pendapatnya dengan Mu’tazilah, yakni Allah tidak berbeda dengan zat-Nya (subtansi-Nya). Untuk tahu dan yakin terhadap esensi wujud  Allah, menurut Al-Farabi, tidak perlu dengan menambahkan sifat-sifat tertentu pada zat Allah. Hal ini disebabkan pengetahuan tentang zat Allah lebih nyata dan yakin dari pengetahuan kita terhadap selain-Nya. Sebab Allah adalah wujud yang sempurna, maka pengetahuan tentang Dia adalah pengetahuan yang sempurna pula.
Allah, bagi Al-Farabi, adalah ‘Aql murni. Ia Esa adanya dan yang menjadi objek pemikiran-Nya hanya subtansi-Nya. Ia tidak memerlukan sesuatu yang untuk memikirkan subtansi-Nya, tetapi cukup subtansi-Nya sendiri. Jadi, Allah adalah ‘Aql, ‘Aqil, dan Ma’qul (akal, subtansi yang berpikir, dan subtansi yang dipikirkan). Demikian pula, Allah itu Mahatahu. Ia tidak membutuhkan sesuatu di luar zat-Nya untuk tahu, bahakan cukup dengan subtansi-Nya semata. Jadi, Allah adalah ilmu, subtansi yang mengetahui, dan subtansi yang diketahui (‘Ilm, ‘Alim, dan Ma’lum­).
Tentang ilmu Allah, pemikiran Al-Farabi terpengaruh oleh Aristoteles yang mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui dan tidak memikirkan alam. Pemikiran ini dikembangkan Al-Farabi dengan mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui yang juz’iyyat (partikular). Ini bukan berarti bahwa Allah yang Maha Mengetahui tidak mengetahui yang juz’i di alam ini, tetapi yang ia maksudkan bahwa pengetahuan Allah tentang yang rinci tidak sama dengan pengetahuan manusia. Allah sebagai Akal jelas hanya dapat yang kully (universal), sedangkan untuk mengetahui yang juz’i hanya dapat ditangkap dengan pancaindra. Allah tidak mempunyai pancaindra. Oleh karena itu, pengetahuan-Nya tentang yang juz’i tidak secara langsung, melainkan lewat yang kully yang ia sebab bagi yang juz’i.
Sebagaimana filosof Muslim pada umunya, Al-Farabi juga mengemukakan ayat-ayat Al-qur’an dalam rangka menyucikan Allah dari bersifat. Ayat-ayat yang dimaksud adalah surat Al-Syura ayat 42 dan surat Al-Shaffat ayat 180. Tentang asma al-husna, menurut Al-Farabi, kita boleh saja menyebutkan nama-nama tersebut sebanyak yang kita inginkan, tetapi nama tersebut tidak menunjukan adanya bagian-bagian pada zat Allah atau sifat-sifat yang berbeda dari zat-Nya.

3.      Emanasi

Emanasi adalah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti ada; Tuhan). Teori ini disebut juga dengan nama “teori urut-urutan wujud”.
Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut Akal-Pertama. Dari pemikiran Akal-Pertama, dalam kedudukan sebagai wujud yang wajib karena Tuhan, dan sebagai wujud yang mengetahui dirinya, maka keluarlah Akal-Kedua. Dari pemikiran Akal-Pertama, dalam kedudukannya sebagai wujud mumkin dan mengetahui dirinya, maka timbullah langit pertama atau benda langit yang terjauh dengan jiwanya sama sekali. (jiwa langiit tersebut). Dari Akal-Kedua, timbullah  Akal-Ketiga dan langit yang kedua atau bintang-bintang tetap besrta jiwanya, dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada Akal-Pertama. Dari Akal-Ketiga keluarlah Akal-Keempat dan planet Saturnus, juga beserta jiwanya. Dari Akal-keempat keluarlah Akal-Kelima dan planet Yupiter beserta jiwanya. Dari Akal-kelima keluarlah Akal-Keenam dan planet Mars beserta jiwanya. Dari Akal-Keenam keluarlah Akal-Ketujuh dan Matahari beserta jiwanya. Dari Akal-Ketujuh keluarlah Akal-Kedelapan dan planet Venus juga beserta jiwanya. Dari Akal-Kedelapan keluarlah Akal-Kesembilan dan planet Merkurius beserta jiwanya. Dari Akal-Kesembilan keluarlah Akal-Kesepuluh dan bulan.
Dari Akal-Kesepuluh, sesuai dengan dua seginya, yaitu wajid wujud karena Tuhan, maka keluarlah manusia beserta jiwanya, dan dari segi  dirinya yang merupakan wujud yang mumkin, maka keluarlah unsur empat dengan perantaraan benda-benda langit.
Struktur emanasi Al-Farabi ini dipengaruhi oleh temuan saintis saat itu, yakni sembilan planet dan satu bumi. Karenanya, ia membutuhkan sepuluh akal, setiap akal mengurusi satu planet termasuk bumi. Sekiranya Al-Farabi hidup saat itu, tentu saja ia akan membutuhkan banyak sekali akal sebanyak planet yang ditemukan saitis sekarang.

4.      Kenabian

Menurut Al-Farabi, manusia dapat berhubungan dengan Akal Fa’al (Jibril) melalui dua cara, yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau inspirasi (ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh para filosof yang dapat menembus alam materi dan mencapai cahaya ketuhanan, sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi.
Telah dimaklumi bahwa ilham-ilham kenabian adakalanya terjadi waktu tidur dan waktu bangun. Dengan kata lain, dalam bentuk impian yang benar atau wahyu. Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada tingkatannya dan tidak mengenai esensinya. Mimpi yang benar tidak lain adalah satu tanda dari tanda kenabian.
Menurut Al-Farabi bila kekuatan imajinasi pada seseorang kuat sekali, objek indrawi dari luar tidak akan dapat mempengaruhinya sehingga ia dapat berhubungan dengan Akal Fa’al. Apabila kekuatan imajinasinya telah mencapai kesempurnaan, tidak ad a halangan baginya menerima peristiwa-peristiwa sekarang atau mendatang dari Akal Fa’al pada waktu bangun. Dengan adanya penerimaan demikian, maka ia dapat nubuwwat terhadap perkara-perkara ketuhanan.

5.      Negara Utama

Negara utama, sebagai satu masyarakat yang sempurna, dalam arti masyarakat yang telah lengkap bagian-bagiannya, diibaratkan oleh Al-Farabi sebagai organisme tubuh manusia dengan anggota yang lengkap. Masing-masing organ tubuh harus bekerja sesuia dengan fungsinya. Apabila satu organ sakit, maka organ yang lain akan merasakan penderitaan dan akan menjaganya. Demikian pula anggota masyarakat Negara utama, yang terdiri dari warga yang berbeda kemampuan dan fungsinya, hidup saling membantu atau dengan kata lain senasib dan sepenanggungan. Masing-masing mereka harus diberikan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan spesialisasi mereka. Fungsi utama filsafat politik atau pemerintahan Al-Farabi ini adalah fungsi kepala negara yang serupa dengan fungsi jantung di dalam tubuh manusia. Kepala negara merupakan sumber aktifitas, sumber peraturan, dan keselarasan hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, ia harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, seperti bertubuh sehat, berani, kuat, cerdas, pencinta pengetahuan serta keadilan, dan memiliki akal mustafad yang dapat berkomunikasi dengan Akal-Kesepuluh, pengatur bumi, dan penyampai wahyu. Oleh karena itu, yang paling ideal sebagai kepala negara adalah nabi/rasul atau filosof. Tugas kepala negara selain mengatur negara, juga sebagai pengajar dan pendidik terhadap anggota masyarakat yang dipimpinnya. Kalau tidak ada sifat-sifat kepala negara yang ideal ini, pimpinan negara diserahkan kepada seorang yang memiliki sifat-sifat yang dekat dengan sifat-sifat yang dimiliki kepala negara ideal.

6.      Jiwa

Jiwa manusia beserta materi asalnya memencar dari Akal-Kesepuluh. Jiwa adalah jauhar rohani sebagai form jasad. Kesatuan keduanya merupakan kesatuan secara accident, artinya masing-masing keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa. Jiwa manusia disebut dengan al-nafs al-nathiqah, berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalaqi, berbentuk, berupa, berkadar, dan bergerak.  Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.
Bagi Al-Farabi, jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut:
a.       Daya al-Muharrikat (gerak), daya ini yang  mendorong untuk makan, memelihara, dan berkembang.
b.      Daya al-Mudrikat (mengetahui), daya ini yang mendorong untuk merasa dan berimajinasi
c.       Daya al-Nathiqat (berpikir), daya ini yang mendorong untuk berpikir secara teoritis dan pratis.
Daya teoritis terdiri dari tiga tingkat berikut:
1.      Akal Potesial (al-Hayulany), ialah akal yang baru mempunyai potensi berpikir dalam arti: melepas arti-arti atau bentuk-brntuk dari materi.
2.      Akal Aktual (al-‘Aql bi al-fi’l), akal yang telah dapat melepaskan arti-arti dari materinya, dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam lagi dalam bentuk potensial, tetapi telah dalam bentuk aktual.
3.      Akal Mustafad (al-‘Aql al-Mustafad), akal yang telah dapat menangkap bentuk semata-mata yang tidak dikaitkan dengan materi dam mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan Akal-Kesepuluh.

7.      Akal

Telah disebutkan bahwa akal, menurut Al-Farabi, ada tiga jenis. Pertama, Allah sebagai Akal; kedua, akal-akal dalam filsafat emanasi: satu sampai sepuluh; dan ketiga, akal yang terdapat pada diri manusia. Akal pada jenis pertama dan kedua tidak berfisik (imateri/rohani) dan tidak menempati fisik, namun antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat tajam. Allah sebagai Akal adalah Pencipta dan Esa semutlak-mutlaknya, Maha Sempurna dan tidak mengandung pluralitas. Sebagai Zat Yang Esa, maka objek ta’aqqul Allah hanya satu, yakni zat-Nya. Jika diandaikan objek ta’aqqul Allah lebih dari satu, maka pada diri Allah terjadi pluralitas. Hal ini bertentangang dengan prinsip tauhid. Demikian juga Allah Maha Sempurna tidak berhubungan dengan yang selain diri-Nya. Jika dikatakan Allah berhubungan dengan selain diri-Nya, berarti ia berhubungan dengan yang tidak sempurna. Hal itu merusak citra tauhid. Atas dasar inilah Al-Farabi menjelaskan bahwa materi asal dicipptakan Allah dari sesuatu yang telah ada dan diciptakan secara emanasi sejak azali, karena sifat khaliq Allah ada Ia wujud (bukan berarti Allah didahului dengan tiada) dan semenjak itu pula Ia langsung mencipta. Dari hasil ta’aqqul muncul dua, berarti Allah mempunyai dua sisi yang pluralitas.
Adapun jenis akal yang kedua, yakni akal-akal pada filsafat emanasi, Akal Pertama esa pada zatnya, tetapi dalam dirinya mengandung keanekaan potensial. Ia diciptakan oleh Allah sebagia Akal, maka objek ­ta’aqqul-nya (juga akal-akal lainnya) tidaklah lagi satu, tetapi sudah dua: Allah sebagai Wajib al-Wujud dan dirinya sebagai mumkin al-wujud. Telah dikemukakan ada sepuluh akal dan sembilan planet, masing-masing akal mengurus satu planet. Akal Kesepuluh (Akal Fa’al), di samping melimpahkan kebenaran kepada para nabi dan filosof, juga berfungsi mengurusi bumi dan segala isinya. Juga telah disebutkan bahwa pendapat Al-Farabi tentang sembilan planet terpengaruh oleh pendapat astronomi Yunani saat itu yang mengatakan sembilan planet.
Akal jenis ketiga ialah sebagai daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Akal jenis ini juga tidak berfisik, tetapi bertempat pada materi. Akal ini bertingkat-tingkat, yang terdiri dari Akal Potensial, Akal Aktual, Akal Mustafad. Akal yang disebut terakhir ini yang dimiliki para filosof yang dapat menangkap cahaya yang dipancarkan Allah ke alam materi melalui Akal Kesepuluh (Akal Fa’al).[3]

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Al-Farabi, nama lengkapnya adalah Abu Nash Muhammad ibnu Muhammad Tarkhan ibnu Auzalagh, yang biasa saja menjadi Al-Farabi. Ia dilahirkan di Wasij, Distrik Farab, Turkistan pada tahun 257 H /870 M. ayahnya seorang jenderal berkebangsaan Persia dan ibunya kebangsaan Turki
Al-Farabi telah berhasil merekonsiliasi beberapa ajaran filsafat sebelumnya, seperti Plato dan Aristoteles dan juga antara agama dan filsafat. Oleh karena itu, ia dikenal sebagai filosof sinkretisme yang memercayai kesatuan filsafat. Al-Farabi juga telah mempertemukan agama Islam dengan di satu pihak dengan Palto dan Aristoteles di lain pihak
Al-Farabi dalam pembahasan tentang ketuhanan mengompromikan antara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme, yakni al-Maujud al-Awwal (wujud Pertama) sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Konsep ini tidak bertentangan dengan keesaan yang mutlak dalam ajaran islam.
Menurut Al-Farabi segala yang ada ini hanya dua kemungkinan dan tidak ada alternatif yang ketiga, yakni Wajib al-Wujud dan mumkin al-Wajib.
Emanasi adalah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti ada; Tuhan). Teori ini disebut juga dengan nama “teori urut-urutan wujud”.
Jiwa manusia beserta materi asalnya memencar dari Akal-Kesepuluh. Jiwa adalah jauhar rohani sebagai form jasad. Kesatuan keduanya merupakan kesatuan secara accident, artinya masing-masing keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa.
Telah disebutkan bahwa akal, menurut Al-Farabi, ada tiga jenis. Pertama, Allah sebagai Akal; kedua, akal-akal dalam filsafat emanasi: satu sampai sepuluh; dan ketiga, akal yang terdapat pada diri manusia.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Sirajuddin Zar, FIlsafat Islam, (Jakarta: PT  Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 65-66
[2] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm. 90-91
[3] Sirajuddin Zar, op,cit. hlm. 87-90

Comments

Popular Posts