Struktur Pemerintahan Kerajaan Aceh
A. Kerajaan Aceh Darussalam
Usia kesulatanan Aceh
berlangsung sekitar 400 tahun. Selama masa itu proses kehidupan suau negara
yang dimulai dengan pembentukannya, perluasan dan penciutan wilayah, penyatuan
wilayah ke dalam suatu struktur yang solid, pilihan pengelola wilayah, yang
kemudian diakhiri dengan keruntuhannya. Kerajaan aceh adalah suatu kerajaan
yang pusat kekuasaannya berada di ujung utara aceh (di sekitar banda aceh dan
aceh besar sekarang) dengan ibukotanya Banda Aceh didirikan oleh Sultan Johan
Syah sebagai sultan pertama Aceh dan sudah beragam Islam, berkuasa hingga 1235
M. Wilayah Kerajaan Aceh mulanya memang hanya mencakup Banda aceh dan sebagian
Aceh Besar saat ini dan kemudian dikenal dengan daerah inti. Kemudian terjadi
penggabungan wilayah hingga sebesar Provinsi Aceh saat ini dan disebut daerah
pokok. Pada masa kegemilangan kerajaan Aceh luasnya melebar meliputi setengah
pulau Sumatera dan Semenanjung Malaysia yang disebut daerah taklukan
Sultan Alaidin Johan Ali
Ibrahim Mughayat Syah (1514-1530) terkenal dengan bapak pemersatu bangsa-bangsa
Aceh karena pada tanggal 12 Zulkaidaj 916 H memproklamirkan Aceh sebagai sebuah
kerajaan federasi Aceh Darussalam yang terdiri dari Kerajaan Islam Peureulak,
Samudra Pasai, Tamiang, Lingge, Lamno Daya, Pedir, serta Aceh Darussalam.
Sebelum itu, Sultan ini harus membebaskan Aceh dari kekuasaan Pidie. Waktu itu
kekuatan militer Kerajaan Aceh memang mulai menguat dipimpin oleh Raja Ibrahim,
adik sultan yang kemudian gugur dalam pertempuran sengit denga armada Portugis
(Farangi) di Aru, karena waktu itu Portugis sudah memiliki benteng di Pidie dan
Pasai dan mencoba menyerang Aceh pada tahun 1519 dan 1521 di bawah pimpinan Gaspar
de Costa. Pasukan Aceh menang dan bahkan menghancurkan benteng Portugis di
Pidie dan Pasai, serta mendapat harta dan senjata rampasan perang. Armada Aceh
bahkan muncul di wilayah Cannanore di Pantai Barat India untuk membantu
sekutunya Raja Kalikut menggempur Portugis di Goa. Sultan ini juga menciptakan
bendera kerajaan yang diberi sebutan “Alam Zulfiqar” (Bendera Pedang). Sultan
memuli dan memperkuat hubungan dengan kerajaan Turki Usmani. Kemakmuran Aceh
tergambarkan dalam festival, perayaan dan tradisi.
Struktur pemerintah
Kerajaan Aceh Darussalam berbentuk sistem pemerintahan piramid dengan susunan
dari yang teratas adalah : kerajaan (negara), sagoe (federasi dari beberapa
nanggroe), mukim sagoe, nanggroe (kecamatan), mukim (federasi gampong), gampong
(kampung), meunasah, seunebok, dan rumah tangga.
Kerajaan Aceh darussalam
lebih cenderung disebut dengan negara federasi berbentuk kerajaan. Dikatakan
kerajaan karena sultannya bersifat turun-temurun, dengan variasi terdapat
mekanisme untuk mengangkat sultan baru yang sifatnya tidak berdasarkan
keturunan, namun berdasarkan kemampuan pribadi, kemampuan keluarga atau kaum,
kepentingan politik, dan banyak faktor pertimbangan lain. Meskipun sifatnya
memang turun temurun, namun kekuasaan dan martabat seorang pemimpin wilayah di
Aceh pada setiap tingkatan tergantung pribadi tokoh itu. Bila lemah maka dapat
tidak dipatuhi oleh anggotanya ataupun bahkan diganti oleh tokoh lain.
B. Struktur Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh darussalam
dipimpin oleh sultan bergelar Sultan Imam Adil. Rakyat sering memberikan
sebutan istilah Poteu (Our King) kepada sultan. Dalam menjalankan tugasnya
Sultan dibantu oleh Sekretaris Negara yang bergelar Rama Seutia Keureukon
Katibul Muluk. Orang kedua dalam kerjaan adalah Qadhi Malikul Adil yang dibantu
oleh seorang ulama besar bergelar Syeikhul Islam dann empat orang yang disebut
Mufti Empat.
Bentuk Pemerintahan Kerajaan Aceh adalah federasi. Disebut
federasi karena kerajaan Aceh menganut prinsip desentralisasi dengan memberikan
otonomi yang tinggi bagi daerah bawahannya yaitu nanggroe dan mukim, apalagi
untuk daerah taklukan. Kedudukan uleebalang di luar wilayah Aceh Besar tidak
pernah diatur secara penuh oleh pemerintah pusat Kerajaan Aceh (sehingga
dikenal istilah raja kecil). Raja-raja kecil itu bukan pegawai Kerajaan Aceh,
tidak diangkat oleh Raja Aceh, mempunyai wilayah dan rakyat sendiri, mempunyai
otonomi yang luas, mempunyai pasukan pengamanan sendiri. Kebijakn fiskal,
moneter, pertahanan, dan agama berada dibawah koordinasi Kerajaan Aceh, namun
pola hubungan super dan sub-ordinasi ini hanya maksimal dipergunakan pada zaman
Sultan Iskandar Muda.
Sagoe merupakan federasi
atau gabungan dari beberapa mukim. Struktur ini hanya ada di Aceh Besar dan
hanya ada 3 sagoe di aceh yaitu sagoe XXII mukim (berarti terdiri dari 22
mukim), sagoe XXV Mukim, dan sagoe XXVI Mukim. Pimpinan sagoe adalah Panglima
Sagoe denga peranan tidak seotonom uleebalang dimana wewenangnya terbatas pada
kepentinan bersama antara beberapa orang Uleebalang. Secara de jure, dalam
suasan normal panglima sagoe berfungsi sebagai koordinator dan pengawas saja
sedangkan pemerintahanan harian tetap berada ditangan uleebalang sebagai
pimpinan nanggrpe. Hanya dalam situasi perang, kewenangan pemerintahan diambil
alih oleh Panglima Sagoe dibantu oleh para uleebalang. Namun dalam realitas (de
facto) peran panglima sagoe XXII mukim sangat besar, sehingga bukan saja
mendapat mandat untuk salah satu wakil raja namun sering pula melakukan
intervensi kepada kebijakan dan penggantian pejabat kerajaan. Uleebalang-ulebalang
menggabungkan diri ke bawah kekuasaan-kekuasaan seorang panglima sagoe untuk
mendapat perlindungan dan bantuan menghadapi konflik internal nanggroenya,
intrik antar nanggroe, dan musuh bersama di luar nanggroe.
Negeri (nanggroe)
merupakan federasi atau gabungan dari beberapa mukim yang muncul ketika jumlah
penduduk semakin bertambah dan interaksi yang muncul ketika jumlah penduduk
semakin bertambah dan interaksi keruangan meluas. Pimpinan negeri ini bergelas
generik Uleebalang, dengan sebutan yang berbeda menurut wilayah yaitu Bintara
Simasat, Mangkubumi, Pakih, Maharaja, Raja dan lain-lain. Sehingga nanggroe
(kecamatan) disebut juga daerah Uleebalang yang merupakan daerah otonomi dengan
batas-batas tertentu. Kedudukan uleebalang khususnya di luar wilayah inti tidak
pernah diatur secara penuh oleh pemerintah pusat Kerajaan Aceh. Para Uleebalang
ini bukan pegawai Kerajaan Aceh, tidak diangkat oleh Raja Aceh, mempunyai
wilayah dan rakyat sendiri, mempunyai otonomi luas, mempunyai pasukan
pengamanan sendiri. Uleebalang yang bertindak sebagai raja kecil ini hanya
diminta untuk mengakui wilayah mereka sebagai bagian dari federasi Kerajaan
Aceh, mengirimkan upeti (bungong jaroe) ke pusat, dan mematuhi peraturan
minimal Kesultanan. Uleebalang mempunyai hak otonom mengurus daerahnya
sepanjang tidak bertentangan dengan Kanun Al-Arsyi, moneter, pertahanan, dan
agama berada dibawah koordinasi Kerajaan Aceh.
Selain Kepala Daerah,
Uleebalang adalah Kepala Wilayah Administrasi sebagai pembantu Sultan dalam
menegakkan aturan dan kebijakan negara yang telas diputuskan sultan bersama
dengan hakim, Uleebalang diangkat dan/atau ditetapkan sebagai kepala wilayah
oleh Sultan Aceh dengan sebuah keputusan bernama sarakata yang dibubuhi stempel
Sultan Aceh bertuliskan Cap Sikureueng. Meski jabatan uleebalang ini dapat
bersifat turun temurun namun Raja memiliki hak atas dasar aturan tertentu untuk
mengangkat dan memberhnetikan seorang uleebalang. Oleh karena itu Raja memiliki
intitusi (Rama Setia) untuk mengontrol dan mengevaluasi status setiap
uleebalang.
Mukim merupakan federasi
atau gabungan dari beberapa kampung. Ukuran standar awalnya adalah jumlah
laki-laki dewasa sebanyak 1000 orang. Pimpinan mukim disebut Imuem Mukim.
Istilah Imuem mukim sebenaranya adalah pembesaar adat tanpa sifat keagamaan,
dimana diantaranya dapat mencapai kedudukan mandiri sederajat dengan
Uleebalang. Pengaruh mukim pada masa kerajaan sangat besar dan berwibawa,
sedangkan setelah Indonesia merdeka cenderung menurun, karena tidak diberi
wewenang mengatur wilayahnya lagi. Namun secara moral peradaban, peranan mukim
masih eksis. Realitas tersebut terlihat jika terjadi persoalan atau
perselisihan dalam masyarakat.
Mukim adalah federasi
gampong -gampong yang minimal terdiri atas 8 gampong dan mempunyai sebuat
mesjid untuk melaksanakan shalat jumat. Mukim dipimpin oleh Imuem Mukim dan
seorang Kadhi Mukim dan beberapa waki. Para Imuem Mukim sebenarnya adalah
pembesar adat tanpa sifat keagamaan, yang diangkat dan diberhentikan oleh
Uleebalang. Namun kedudukan Imuem Mukim yang mula-mula bersifat keagaman,
kemudian, dibeberapa tempat berubah dengan mencoba merebut kedudukan yang lebih
besar yaitu uleebalang.
Gampong (kampung) atau
tumpok (dusun) merupakan organisasi pemerintahan tingkat dasar dipimpin oleh
Keuchik. Gampong mempunyai satu atau lebih meunasah yang dipimpin oleh seorang
teungku imuem. Teungku imuem dengan keuchik mempunyai tugas masing-masing namun
tingkat koordinasi yang sangat erat. Gampong juga mempunyai badan pertimbangan
“ureng tuha” yang berbentuk tuha peut atau tuha lapan. Kebijakan dalam setiap
gampong boleh berbeda sepanjang tidak berntentangan dengan Undang-Undang
Kerajaan Aceh.
Sumber :
- H.M. Thamrin Z dan Edy Mulyana, Leburnya Provinsi Aceh, (Banda Aceh : Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Aceh Darussalam, 2008)
- H.M. Thamrin Z dan Edy Mulyana, Pantai Barat Aceh di Panggung Sejarah, (Banda Aceh : Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Aceh Darussalam, 2009
Comments
Post a Comment